Sore ini sayah, Adoy, Chris hangout di sebuah tempat sama. Tujuan kami beda-beda: Sayah harus membuat sebuah program kerja (sayah tempat dengan koneksi internet sangat cepat), Adoy harus membuang waktu hingga janji-jam-5-nya, Chris butuh keluar dari Ponti setelah empat hari tereram. Di depan tempat tersebut terdapat sebuah fly-over yang sekarang sudah penuh grafiti (minggu lalu belum ada). Dari jumlahnya yang banyak, kami menduga itu bukan grafiti liar, tapi sudah berizin.
Kira-kira spasi sepanjang 70 langkah dipenuhi dengan grafiti penuh warna, berbentuk tidak jelas —entah sok abstrak atau kami yang tidak mengerti. Walaupun secara visual bentuk dan warnanya tidak sejelek (perhatikan sayah menggunakan kata jelek) grafiti biasanya, dengan penuh sesal sayah berkomentar, ‘Bagus itu nggak cuma soal enak dilihat lho, bagus itu juga soal kualitas pesan yang disampaikan.’ Begitulah grafiti-grafiti tersebut: tidak ada pesan yang disampaikan —sekedar (maunya) estetika visual.
Adoy mengeluh sama tentang kecenderungan pemusik lokal: membuat musik yang simply enak didengar dan melalaikan konsistensi masing-masing komponennya (aransemen, lirik, sound engineering, dll). Sebelumnya kami pernah berdiskusi hal yang sama tentang video musik lokal. Kebanyakan menawarkan tidak lebih dari sekedar gerak kamera, warna, efek visual yang unik. Ceritanya sendiri tidak mengkomplementasi lagunya (kecuali video musik Posesif-Naif, dan tentunya Punyaku Sendiri-Cozy Street Corner).
Kalau orang-orang ini memang menggunakan media tersebut sebagai alat bantu komunikasi, sayah tidak melihat mereka berkomunikasi dengan efektif. Komunikasi adalah proses tukar pesan. Pesan-pesan tersebut disampaikan melalui simbol. Yang sayah ragukan adalah kemampuan mereka menggunakan simbol-simbol tersebut. Yang lebih mengerikan adalah: jangan-jangan mereka tidak sadar bahwa mereka menggunakan simbol.
How musicians communicate stories
Salah satu profesi yang sayah kagumi —mungkin juga dream job sayah— adalah music director sebuah film. Sayah tidak bisa membayangkan betapa kaya perbendaharaan musik mereka sampai bisa memilih lagu yang tepat untuk menyertai adegan dalam sebuah film. Sayah juga tidak bisa membayangkan betapa skillful mereka mengarahkan musisi untuk menggubah lagu yang tepat untuk adegan sebuah film. Ini adalah profesi yang lebih sulit dibanding sekedar menggubah sebuah lagu.
Salah satu orang yang sayah kagumi untuk profesi ini adalah Sting. Untuk membuat musik ilustrasi, Sting beradaptasi dengan film tersebut. Ia menulis lirik yang dengan sangat tepat menggambarkan tiap karakter, dan ia lakukan lewat lirik yang implisit sehingga terhindar dari norak. Bukan hanya itu, bila ia dituntut mengubah genre musiknya, ia ubahlah lah. Di Sabrina dengan latar belakang Prancis yang kuat ia menggubah Moonlight sebagai musik jazz.
Di Kate And Leopold, sesuai dengan kebangsaan tokoh sentralnya —Rusia dan Amerika— Sting menggabungkan instrumen pop Amerika dengan aransemen Rusia untuk Until (kental sekali pada intro). Leopold, ilmuwan (ahli fisika mesin), jatuh cinta pada Kate. Dengan penuh elegan (seperti juga layaknya Leopold) Sting menulis:
If I were smart as Aristotle
And understand the ring around the moon
What would it all matter if you love me
Dalam Kate And Leopold, Leopold —dari masa lalu— terjebak di masa Kate —kini. Sting meng-capture keseluruhan cerita ini dengan beberapa baris saja:
If I caught the world in an hour-glass
And saddle up the moon so we could ride
Until the stars grew dim
Until the time that time stand still
Sayah percaya hour-glass (jam pasir) dan the time that time stand still bukan tidak sengaja.
Dalam The Emperor’s New Groove, dengan sangat sempurna (sayah tahu berlebihan, so sue me!) Sting menulis keseluruhan cerita dalam satu lagu lagu lengkap dengan deskripsi karakternya. Ia menggambarkan kedua karakter sekaligus dalam satu bait (the stuck-up and the kindhearted):
And you remind me
That the world is not my playground
There are other things that matter
Dan menggambarkan eratnya persahabatan mereka berdua dengan:
Look at the pattern In the big sky
Those constellations look like you and I
Dan menggambarkan keduanya kilas balik hubungan mereka dengan:
If I should this all the second time
I wouldn’t complain or make a fuss
Ketika bertugas musik untuk I Am Sam, John Powell mewawancara sejumlah pengidap Down Syndrome dan menanyakan musik favorit mereka: jawaban mereka adalah The Beatles. Dari situ lah ia memutuskan untuk menggunakan lagu Beatles untuk I Am Sam. Dengan sangat cermat ia memilih lagu yang tepat untuk tiap adegan. Lebih dari itu, Powell mengambil keputusan yang mengerikan bagi semua orang yang kenal lagu-lagu The Beatles: menggunakan cover versions, bukan original. Semua orang tahu adalah tugas yang sangat berat menyanyikan lagu The Beatles di depan publik dengan feel yang dapat menandingi versi aslinya. Powell akan kesulitan menemukan musisi-musisi tersebut. Dan Powell mendapatkan orang-orang yang unbelievably capable! Ia punya Eddie Vedder untuk You’ve Got To Hide Your Love Away, Sarah McLachlan untuk Blackbird, Aimee Mann dan Michael Penn Untuk Two Of Us. Dan, sekali lagi, semuanya dipasang pada adegan yang tepat!
How filmmakers communicate through pictures
Komunikasi simbolik yang mirip disampaikan pada film-film yang pernah sayah lihat. Perhatikan bahwa dalam The Matrix Series, warna gambar ketika tokoh-tokoh sedang di real world dan matrix berbeda. Warna di matrix lebih miskin (baca: hijau) dibanding real world. Ilustrasi yang sangat baik untuk mengkomunikasikan keterbatasan mesin. Gerak kamera The Bourne Identity yang sangat memusingkan mata dipakai untuk mengkomunikasikan isi kepala James Bourne: cepat, panik, penuh kendali secara bersamaan. Sayah ingat sayah berkomentar pada Wahyu bahwa sayah merasa gerah dengan pilihan warna dalam Three Kings. Wahyu bilang, ‘Wah itu kerennya Dih, gambarnya seakan-akan sepanas temperatur aslinya (Iraq)’.
Finally…..
Sayah bisa lanjut berhalaman-halaman. Yang sayah mau sampaikan adalah: inilah komunikasi: menyampaikan pesan. Tentukan dahulu pesannya, kemudian biarkan pesannya yang menentukan media yang diperlukan. Bukan menentukan medianya lebih dahulu. Bila begitu, yang terlintas di kepala adalah: mau gambar apa ya?, mau nulis apa ya?
Kira-kira spasi sepanjang 70 langkah dipenuhi dengan grafiti penuh warna, berbentuk tidak jelas —entah sok abstrak atau kami yang tidak mengerti. Walaupun secara visual bentuk dan warnanya tidak sejelek (perhatikan sayah menggunakan kata jelek) grafiti biasanya, dengan penuh sesal sayah berkomentar, ‘Bagus itu nggak cuma soal enak dilihat lho, bagus itu juga soal kualitas pesan yang disampaikan.’ Begitulah grafiti-grafiti tersebut: tidak ada pesan yang disampaikan —sekedar (maunya) estetika visual.
Adoy mengeluh sama tentang kecenderungan pemusik lokal: membuat musik yang simply enak didengar dan melalaikan konsistensi masing-masing komponennya (aransemen, lirik, sound engineering, dll). Sebelumnya kami pernah berdiskusi hal yang sama tentang video musik lokal. Kebanyakan menawarkan tidak lebih dari sekedar gerak kamera, warna, efek visual yang unik. Ceritanya sendiri tidak mengkomplementasi lagunya (kecuali video musik Posesif-Naif, dan tentunya Punyaku Sendiri-Cozy Street Corner).
Kalau orang-orang ini memang menggunakan media tersebut sebagai alat bantu komunikasi, sayah tidak melihat mereka berkomunikasi dengan efektif. Komunikasi adalah proses tukar pesan. Pesan-pesan tersebut disampaikan melalui simbol. Yang sayah ragukan adalah kemampuan mereka menggunakan simbol-simbol tersebut. Yang lebih mengerikan adalah: jangan-jangan mereka tidak sadar bahwa mereka menggunakan simbol.
How musicians communicate stories
Salah satu profesi yang sayah kagumi —mungkin juga dream job sayah— adalah music director sebuah film. Sayah tidak bisa membayangkan betapa kaya perbendaharaan musik mereka sampai bisa memilih lagu yang tepat untuk menyertai adegan dalam sebuah film. Sayah juga tidak bisa membayangkan betapa skillful mereka mengarahkan musisi untuk menggubah lagu yang tepat untuk adegan sebuah film. Ini adalah profesi yang lebih sulit dibanding sekedar menggubah sebuah lagu.
Salah satu orang yang sayah kagumi untuk profesi ini adalah Sting. Untuk membuat musik ilustrasi, Sting beradaptasi dengan film tersebut. Ia menulis lirik yang dengan sangat tepat menggambarkan tiap karakter, dan ia lakukan lewat lirik yang implisit sehingga terhindar dari norak. Bukan hanya itu, bila ia dituntut mengubah genre musiknya, ia ubahlah lah. Di Sabrina dengan latar belakang Prancis yang kuat ia menggubah Moonlight sebagai musik jazz.
Di Kate And Leopold, sesuai dengan kebangsaan tokoh sentralnya —Rusia dan Amerika— Sting menggabungkan instrumen pop Amerika dengan aransemen Rusia untuk Until (kental sekali pada intro). Leopold, ilmuwan (ahli fisika mesin), jatuh cinta pada Kate. Dengan penuh elegan (seperti juga layaknya Leopold) Sting menulis:
If I were smart as Aristotle
And understand the ring around the moon
What would it all matter if you love me
Dalam Kate And Leopold, Leopold —dari masa lalu— terjebak di masa Kate —kini. Sting meng-capture keseluruhan cerita ini dengan beberapa baris saja:
If I caught the world in an hour-glass
And saddle up the moon so we could ride
Until the stars grew dim
Until the time that time stand still
Sayah percaya hour-glass (jam pasir) dan the time that time stand still bukan tidak sengaja.
Dalam The Emperor’s New Groove, dengan sangat sempurna (sayah tahu berlebihan, so sue me!) Sting menulis keseluruhan cerita dalam satu lagu lagu lengkap dengan deskripsi karakternya. Ia menggambarkan kedua karakter sekaligus dalam satu bait (the stuck-up and the kindhearted):
And you remind me
That the world is not my playground
There are other things that matter
Dan menggambarkan eratnya persahabatan mereka berdua dengan:
Look at the pattern In the big sky
Those constellations look like you and I
Dan menggambarkan keduanya kilas balik hubungan mereka dengan:
If I should this all the second time
I wouldn’t complain or make a fuss
Ketika bertugas musik untuk I Am Sam, John Powell mewawancara sejumlah pengidap Down Syndrome dan menanyakan musik favorit mereka: jawaban mereka adalah The Beatles. Dari situ lah ia memutuskan untuk menggunakan lagu Beatles untuk I Am Sam. Dengan sangat cermat ia memilih lagu yang tepat untuk tiap adegan. Lebih dari itu, Powell mengambil keputusan yang mengerikan bagi semua orang yang kenal lagu-lagu The Beatles: menggunakan cover versions, bukan original. Semua orang tahu adalah tugas yang sangat berat menyanyikan lagu The Beatles di depan publik dengan feel yang dapat menandingi versi aslinya. Powell akan kesulitan menemukan musisi-musisi tersebut. Dan Powell mendapatkan orang-orang yang unbelievably capable! Ia punya Eddie Vedder untuk You’ve Got To Hide Your Love Away, Sarah McLachlan untuk Blackbird, Aimee Mann dan Michael Penn Untuk Two Of Us. Dan, sekali lagi, semuanya dipasang pada adegan yang tepat!
How filmmakers communicate through pictures
Komunikasi simbolik yang mirip disampaikan pada film-film yang pernah sayah lihat. Perhatikan bahwa dalam The Matrix Series, warna gambar ketika tokoh-tokoh sedang di real world dan matrix berbeda. Warna di matrix lebih miskin (baca: hijau) dibanding real world. Ilustrasi yang sangat baik untuk mengkomunikasikan keterbatasan mesin. Gerak kamera The Bourne Identity yang sangat memusingkan mata dipakai untuk mengkomunikasikan isi kepala James Bourne: cepat, panik, penuh kendali secara bersamaan. Sayah ingat sayah berkomentar pada Wahyu bahwa sayah merasa gerah dengan pilihan warna dalam Three Kings. Wahyu bilang, ‘Wah itu kerennya Dih, gambarnya seakan-akan sepanas temperatur aslinya (Iraq)’.
Finally…..
Sayah bisa lanjut berhalaman-halaman. Yang sayah mau sampaikan adalah: inilah komunikasi: menyampaikan pesan. Tentukan dahulu pesannya, kemudian biarkan pesannya yang menentukan media yang diperlukan. Bukan menentukan medianya lebih dahulu. Bila begitu, yang terlintas di kepala adalah: mau gambar apa ya?, mau nulis apa ya?
No comments:
Post a Comment