Chapter 1: The First Encounter – Then There Was Wall
Ketika SMA, sayah menemukan sebuah bacaan yang merekomendasikan Shakespeare sebagai referensi sejarah dalam format seni (sayah pecinta sejarah). Tertarik, sayah mencari di toko buku. Sayah harus memilih paling banyak dua dari pilihan yang ada karena harganya terlalu mahal buat sayah, padahal paling tidak ada lima judul buku drama Shakespeare yang diangkat dari sejarah. Sayah harus bertanya sana-sini berburu rekomendasi. Satu orang merekomendasikan ide yang baik: membeli satu Shakespeare bertema non sejarah untuk latihan mengenal gaya bahasanya dan satu Shakespeare bertema sejarah (untuk belajar sejarah).
Untuk non sejarah, ia menyarankan antara Sonets dan Romeo And Juliet. Sayah pilih Romeo And Juliet karena itulah yang banyak dibicarakan orang (satu lagi sayah pilih Julius Caesar). Sayah hanya bertahan dua minggu membaca Romeo And Juliet —halaman 19. Sembilan belas halaman dalam dua minggu: prestasi paling buruk dalam sejarah membaca buku sayah. Buku itu tidak pernah sayah sentuh lagi, apalagi Julius Caesar.
Chapter 2: The Second Encounter – Then There Was Aid
Ketika kuliah sayah menemukan seorang senior —Marcellus Haryono— yang pecinta sastra. Marcel menghabiskan waktu luangnya menggubah puisi, damn good ones. Marcel sangat fasih bermain dengan kata, kalimat, dan ide dalam Bahasa Inggris. Beberapa bulan setelah kami kenal, Marcel mulai bermain dengan Bahasa Indonesia, still damn good pieces he wrote. Satu yang sayah sangat kagumi tentang Marcel: Ia mampu mengutip Shakespeare dalam tiap diskusi kami. Dan ia mengutipnya dengan sangat indah. Ia mungkin satu-satunya orang yang sayah kenal yang dapat mengutip Shakespeare. Sayah menikmati Shakespeare dari cerita Marcel, tapi tetap belum berani membacanya sendiri.
Chapter 3: The Third Encounter – Then There Was Aid, Again
Kira-kira satu semester lalu, di aksara sayah menemukan koleksi Shakespeare —dan ini punchline-nya— lengkap dengan explanatory notes. Teringat Marcel dan Henry VIII, Sayah akhirnya membeli beberapa judul, termasuk Romeo And Juliet (yang lama hilang) dan Sonets.
Ketika SMA, sayah menemukan sebuah bacaan yang merekomendasikan Shakespeare sebagai referensi sejarah dalam format seni (sayah pecinta sejarah). Tertarik, sayah mencari di toko buku. Sayah harus memilih paling banyak dua dari pilihan yang ada karena harganya terlalu mahal buat sayah, padahal paling tidak ada lima judul buku drama Shakespeare yang diangkat dari sejarah. Sayah harus bertanya sana-sini berburu rekomendasi. Satu orang merekomendasikan ide yang baik: membeli satu Shakespeare bertema non sejarah untuk latihan mengenal gaya bahasanya dan satu Shakespeare bertema sejarah (untuk belajar sejarah).
Untuk non sejarah, ia menyarankan antara Sonets dan Romeo And Juliet. Sayah pilih Romeo And Juliet karena itulah yang banyak dibicarakan orang (satu lagi sayah pilih Julius Caesar). Sayah hanya bertahan dua minggu membaca Romeo And Juliet —halaman 19. Sembilan belas halaman dalam dua minggu: prestasi paling buruk dalam sejarah membaca buku sayah. Buku itu tidak pernah sayah sentuh lagi, apalagi Julius Caesar.
Chapter 2: The Second Encounter – Then There Was Aid
Ketika kuliah sayah menemukan seorang senior —Marcellus Haryono— yang pecinta sastra. Marcel menghabiskan waktu luangnya menggubah puisi, damn good ones. Marcel sangat fasih bermain dengan kata, kalimat, dan ide dalam Bahasa Inggris. Beberapa bulan setelah kami kenal, Marcel mulai bermain dengan Bahasa Indonesia, still damn good pieces he wrote. Satu yang sayah sangat kagumi tentang Marcel: Ia mampu mengutip Shakespeare dalam tiap diskusi kami. Dan ia mengutipnya dengan sangat indah. Ia mungkin satu-satunya orang yang sayah kenal yang dapat mengutip Shakespeare. Sayah menikmati Shakespeare dari cerita Marcel, tapi tetap belum berani membacanya sendiri.
Chapter 3: The Third Encounter – Then There Was Aid, Again
Kira-kira satu semester lalu, di aksara sayah menemukan koleksi Shakespeare —dan ini punchline-nya— lengkap dengan explanatory notes. Teringat Marcel dan Henry VIII, Sayah akhirnya membeli beberapa judul, termasuk Romeo And Juliet (yang lama hilang) dan Sonets.
Karena satu seri, di dalamnya tercetak pengantar yang sama. Si penulis pengantar menyarankan pemula untuk mulai dari Shakespeare's Sonnets. Ternyata memang benar. Shakespeare's Sonets adalah koleks 152 soneta. Tidak ada judul, hanya nomor soneta. Ke-152 soneta tersebut disusun berdasarkan topik. Tiap topik terdiri antar 10-20 soneta, tiap soneta terdiri dari 10 baris, kecuali beberapa. Bayangkan betapa divergennya kemampuan pikir seseorang yang bisa menulis soneta dengan topik yang sama sebanyak 20 versi!
Dengan bantuan explanatory notes, sayah menemukan bahwa Shakespeare memainkan bahasa dalam beberapa level: kata dan kalimat. Saat itu sayah memahami mengapa sayah kesulitan memahaminya ketika SMA. Shakespeare sangat mahir menciptakan multimakna untuk tiap kata. Sayangnya, beberapa kosa kata sudah punah dari kamus Inggris sehingga makin sulit untuk sayah pahami. Hal yang sama berlaku dengan kalimat. Sebagai tambahan, Shakespeare sangat mahir membalik-balik urutan kata dalam kalimat sehingga terdengar lebih syahdu dan indah.
Chapter 4: The Third Encounter, Still – Then There Was Light
Kekaguman sayah terhadap Shakespeare sudah meroket bahkan sejak membaca pengantar tersebut. Mulai lah sayah membaca soneta demi soneta. Anehnya, sayah tidak merasa sesulit waktu SMA. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, english reading skill sayah sudah mencukupi. Kedua, penjelasan awal buku tersebut sangat membantu. Ketiga, dan lain-lain. Semakin jauh ke soneta 50-an sayah makin yakin bahwa bukan alasan pertama dan kedua lah yang membuat sayah cukup lancar menikmatinya. Entah apa, sayah merasa ada yang familiar tentang soneta-soneta ini.
Suatu malam sebelum tidur, sayah mengalami aha experience. Sayah sadar di mana sebelumnya sayah pernah baca Shakesperean-poems: lirik-lirik lagu yang ditulis Dave Matthews!
Sayah tahu (dari sekian bayaknya koleksi tulisan tentang Dave Matthews Band yang sayah punya) bahwa sebelum menjadi musisi Dave adalah pengagum Shakespeare dan sangat sering memainkan dramanya. Dave selalu mengambil peran comic, pelawaknya (Shakespeare hampir selalu punya peran komik). Salah satu hal yang orang kagumi tentang Dave adalah kemampuannya memimik orang-orang terkenal —persis tuntutan peran seorang Shakesperean-comic. Dalam lagunya, The Song That Jane Likes, Dave bahkan menulis kerinduannya untuk suatu saat kembali bermain drama.
Bagi sayah, Dave is a class-act lyricist. Dave tidak berdiksi sulit, ia bahkan cenderung memilih kata-kata yang lazim digunakan sehari-hari. Sebagai gantinya, ia bermain dengan susunan dan simbolisasi kata: persis seperti yang dilakukan Shakespeare. Begitu pula struktur gramatikal liriknya.
Dave memilih Chainball (alat yang diikat di kaki narapidana supaya sulit kabur) dibanding idiom-idiom bodoh seperti stuck on you, longing for you:.
You’ve got your balls, You’ve got your chains
Tied to up me tight, Tied me up again
Mirip ketika Shakespeare memilih astronomy dalam:
And yet methinks I have astronomy
(I have astronomi = i understand fate by the sight of the stars)
Dave menulis
1. (dari Crash Into Me, album Crash)
When I hold you so, girl, close to me
(Sisipan girl di tengah kalimat yang belum ia selesaikan
Dengan bantuan explanatory notes, sayah menemukan bahwa Shakespeare memainkan bahasa dalam beberapa level: kata dan kalimat. Saat itu sayah memahami mengapa sayah kesulitan memahaminya ketika SMA. Shakespeare sangat mahir menciptakan multimakna untuk tiap kata. Sayangnya, beberapa kosa kata sudah punah dari kamus Inggris sehingga makin sulit untuk sayah pahami. Hal yang sama berlaku dengan kalimat. Sebagai tambahan, Shakespeare sangat mahir membalik-balik urutan kata dalam kalimat sehingga terdengar lebih syahdu dan indah.
Chapter 4: The Third Encounter, Still – Then There Was Light
Kekaguman sayah terhadap Shakespeare sudah meroket bahkan sejak membaca pengantar tersebut. Mulai lah sayah membaca soneta demi soneta. Anehnya, sayah tidak merasa sesulit waktu SMA. Ada beberapa kemungkinan. Pertama, english reading skill sayah sudah mencukupi. Kedua, penjelasan awal buku tersebut sangat membantu. Ketiga, dan lain-lain. Semakin jauh ke soneta 50-an sayah makin yakin bahwa bukan alasan pertama dan kedua lah yang membuat sayah cukup lancar menikmatinya. Entah apa, sayah merasa ada yang familiar tentang soneta-soneta ini.
Suatu malam sebelum tidur, sayah mengalami aha experience. Sayah sadar di mana sebelumnya sayah pernah baca Shakesperean-poems: lirik-lirik lagu yang ditulis Dave Matthews!
Sayah tahu (dari sekian bayaknya koleksi tulisan tentang Dave Matthews Band yang sayah punya) bahwa sebelum menjadi musisi Dave adalah pengagum Shakespeare dan sangat sering memainkan dramanya. Dave selalu mengambil peran comic, pelawaknya (Shakespeare hampir selalu punya peran komik). Salah satu hal yang orang kagumi tentang Dave adalah kemampuannya memimik orang-orang terkenal —persis tuntutan peran seorang Shakesperean-comic. Dalam lagunya, The Song That Jane Likes, Dave bahkan menulis kerinduannya untuk suatu saat kembali bermain drama.
Bagi sayah, Dave is a class-act lyricist. Dave tidak berdiksi sulit, ia bahkan cenderung memilih kata-kata yang lazim digunakan sehari-hari. Sebagai gantinya, ia bermain dengan susunan dan simbolisasi kata: persis seperti yang dilakukan Shakespeare. Begitu pula struktur gramatikal liriknya.
Dave memilih Chainball (alat yang diikat di kaki narapidana supaya sulit kabur) dibanding idiom-idiom bodoh seperti stuck on you, longing for you:.
You’ve got your balls, You’ve got your chains
Tied to up me tight, Tied me up again
Mirip ketika Shakespeare memilih astronomy dalam:
And yet methinks I have astronomy
(I have astronomi = i understand fate by the sight of the stars)
Dave menulis
1. (dari Crash Into Me, album Crash)
When I hold you so, girl, close to me
(Sisipan girl di tengah kalimat yang belum ia selesaikan
membuat kalimat tersebut lebih syahdu).
2. (dari One Sweet World, album Remember Two Things)
Nine planets around the sun, only one does The Sun embrace
Upon this watered one so much do we take for granted
Cara Dave bermain-main dengan urutan kata dalam kalimat sangat Shakespearean
2. (dari One Sweet World, album Remember Two Things)
Nine planets around the sun, only one does The Sun embrace
Upon this watered one so much do we take for granted
Cara Dave bermain-main dengan urutan kata dalam kalimat sangat Shakespearean
(dari Sonnet #50, buku Shakespeare's Sonnets).
How heavy do I journey on the way
When what I seek, my weary travel’s end
(My journey is heavy all the way, When what I seek is just the end)
Lirik-lirik Dave adalah yang sayah dengar berulang-ulang sejak sayah SMA. Sayah bahkan tidak jarang menulis essei interpretasi sayah terhadap lirik lagu DMB. Selalu ada makna bahasa baru ketika sayah dengar-ulang. Tiap susunan kalimat yang berbeda ternyata memuat intensitas emosi yang berbeda (walaupun jenis emosinya sama). Pantas saja Shakespeare terasa cukup familiar sekarang. Now I’m having so much fun.
Chapter 4: As For Now…
Sayah sering mengeksploitasi benda yang saya suka. Tidak jarang kaset-kaset sayah rusak karena sayah putar berulang-ulang (Hingga isi Side A dan Side B terdengar bersamaan, terima kasih Tuhan sudah menciptakan orang yang menemukan digital music). Sampai sekarang, sayah masih membaca-baca ulang Shakespeare's Sonets. Tiap baca-ulang adalah pengalaman baru. Sayah bahkan belum sempat menyentuh judul lain.
Sampai hari ini, sayah juga masih melalaikan drama-drama sejarah yang ditulis Shakespeare. Sayah masih memuaskan tragedy, romance, terutama comedy-nya. Sejarah bisa menunggu.
How heavy do I journey on the way
When what I seek, my weary travel’s end
(My journey is heavy all the way, When what I seek is just the end)
Lirik-lirik Dave adalah yang sayah dengar berulang-ulang sejak sayah SMA. Sayah bahkan tidak jarang menulis essei interpretasi sayah terhadap lirik lagu DMB. Selalu ada makna bahasa baru ketika sayah dengar-ulang. Tiap susunan kalimat yang berbeda ternyata memuat intensitas emosi yang berbeda (walaupun jenis emosinya sama). Pantas saja Shakespeare terasa cukup familiar sekarang. Now I’m having so much fun.
Chapter 4: As For Now…
Sayah sering mengeksploitasi benda yang saya suka. Tidak jarang kaset-kaset sayah rusak karena sayah putar berulang-ulang (Hingga isi Side A dan Side B terdengar bersamaan, terima kasih Tuhan sudah menciptakan orang yang menemukan digital music). Sampai sekarang, sayah masih membaca-baca ulang Shakespeare's Sonets. Tiap baca-ulang adalah pengalaman baru. Sayah bahkan belum sempat menyentuh judul lain.
Sampai hari ini, sayah juga masih melalaikan drama-drama sejarah yang ditulis Shakespeare. Sayah masih memuaskan tragedy, romance, terutama comedy-nya. Sejarah bisa menunggu.
No comments:
Post a Comment