A movie is a language
Sedikit yang sayah pelajari dari teman sayah, Aleg dan Heru, adalah bahwa film adalah bahasa, dan bahasa adalah simbol. Tiap komponen dalam bahasa (dalam film paling tidak secara acak ada gambar, suara, gerak kamera, musik, dll) adalah simbol. Simbol-simbol ini punya potensi menyampaikan sesuatu. Baru potensi. Dengan begitu —bagi sayah—semakin sebuah film menggunakan sebanyak mungkin komponen bahasanya untuk menyampaikan ceritanya, semakin keren lah film itu. Berikut adalah beberapa:
Every name has a story
Sayah sangat menikmat menemukan arti nama masing-masing tokoh film ini. Favorit sayah adalah Morpheus dan Neo (sisanya sayah tidak tulis supaya tidak terlalu panjang). Morpheus adalah tokoh paling pemimpi di antara yang lain. Morpheus adalah salah satu tokoh mitos Yunani. Ia adalah ‘The King of Dreams’. Morpheus sendiri berarti “pembentuk”, dan ini lah yang dilakukan Morpheus, membentuk Neo menjadi The One. Perhatikan nama Neo. Dari awal, walaupun ragu, Neo memang The One (Neo adalah anagram One). Belum lagi nama-nama seperti Oracle, Nebudchanezar, The Logos, Trinity, Merovingian, Architect, dll.
Every picture has a story
Sayah sangat tercengang bahwa hampir tiap benda di film tersebut sangat simbolik. Di Reloaded, remote control yang digunakan oleh Architect adalah pena (bukan remote televisi). Dan sangat masuk akal. Alat kendali seorang ‘architect’ adalah alat tulis, bukan remote (walaupun yang ia ubah-ubah adalah tayangan di ratusan layar televisi yang ada). Dari semua program yang ada, Architect-lah yang paling emotion-free. Ini lah alasan pakaian yang ia kenakan berwarna putih. Cookie file (dalam konteks internet), dibuat supaya komputer kita mudah menemukan situs yang sudah pernah kita kunjungi (cookie meninggalkan remah. Ingat cerita Hanzel and Gretel). Ini lah sebabnya Oracle memberikan orang-orang cookie, supaya mereka mudah menemukannya.
Every music has a story
Musik yang dipilih Don Davis untuk ilustrasi film sangat konsisten dengan filmnya. Yang paling mengagetkan sayah adalah bahwa ia memilih salah satu lagu The Dave Matthews Band —When The World Ends— sebagai salah satu soundtrack-nya. Aransemen versi asli lagu ini adalah akustik, dan Dave Matthews Band memang band yang (buat sayah) lebih kaya akustik daripada elektrik. Di Reloaded, lagu ini disulap tidak hanya menjadi elektrik, tapi bahkan techno. Lagu ini dipasang sebagai pengiring end title Reloaded. Ternyata, liriknya memang adalah adegan film itu sendiri —ketika perang antara manusia dan mesin akan berlangsung (kemungkinan akhir dunia mereka).
Every name has a story
Sayah sangat menikmat menemukan arti nama masing-masing tokoh film ini. Favorit sayah adalah Morpheus dan Neo (sisanya sayah tidak tulis supaya tidak terlalu panjang). Morpheus adalah tokoh paling pemimpi di antara yang lain. Morpheus adalah salah satu tokoh mitos Yunani. Ia adalah ‘The King of Dreams’. Morpheus sendiri berarti “pembentuk”, dan ini lah yang dilakukan Morpheus, membentuk Neo menjadi The One. Perhatikan nama Neo. Dari awal, walaupun ragu, Neo memang The One (Neo adalah anagram One). Belum lagi nama-nama seperti Oracle, Nebudchanezar, The Logos, Trinity, Merovingian, Architect, dll.
Every picture has a story
Sayah sangat tercengang bahwa hampir tiap benda di film tersebut sangat simbolik. Di Reloaded, remote control yang digunakan oleh Architect adalah pena (bukan remote televisi). Dan sangat masuk akal. Alat kendali seorang ‘architect’ adalah alat tulis, bukan remote (walaupun yang ia ubah-ubah adalah tayangan di ratusan layar televisi yang ada). Dari semua program yang ada, Architect-lah yang paling emotion-free. Ini lah alasan pakaian yang ia kenakan berwarna putih. Cookie file (dalam konteks internet), dibuat supaya komputer kita mudah menemukan situs yang sudah pernah kita kunjungi (cookie meninggalkan remah. Ingat cerita Hanzel and Gretel). Ini lah sebabnya Oracle memberikan orang-orang cookie, supaya mereka mudah menemukannya.
Every music has a story
Musik yang dipilih Don Davis untuk ilustrasi film sangat konsisten dengan filmnya. Yang paling mengagetkan sayah adalah bahwa ia memilih salah satu lagu The Dave Matthews Band —When The World Ends— sebagai salah satu soundtrack-nya. Aransemen versi asli lagu ini adalah akustik, dan Dave Matthews Band memang band yang (buat sayah) lebih kaya akustik daripada elektrik. Di Reloaded, lagu ini disulap tidak hanya menjadi elektrik, tapi bahkan techno. Lagu ini dipasang sebagai pengiring end title Reloaded. Ternyata, liriknya memang adalah adegan film itu sendiri —ketika perang antara manusia dan mesin akan berlangsung (kemungkinan akhir dunia mereka).
bersambung ke Part 3
[seperti filmnya, tulisan ini trilogi]
No comments:
Post a Comment